Etika
Kehidupan Sehari-hari Di Jepang
dan
Kebudayaannya
Di bawah ini adalah contoh-contoh
sopan santun atau etika yang perlu diperhatikan dan dilakukan semua orang,
bukan hanya untuk para pendatang saja, melainkan juga termasuk orang Jepang.
Merokok
Bagi orang yang tidak merokok,
sangat terganggu apabila orang di sebelahnya merokok, atau ada bau rokok di
dalam mobil atau ruangan. Asap rokok banyak mengandung zat beracun akibat
pembakaran yang tidak sempurna, sehingga mengganggu kesehatan manusia.
Akhir-akhir ini mulai diberlakukan penanggulangan untuk melindungi perokok
pasif, dengan cara melarang merokok di tempat kerja, di restoran, di dalam
transportasi umum, di jalanan. Misalnya di tempat yang tidak ada larangan
merokok sekalipun, sebaiknya kita tetap memegang etika meminta izin dulu kepada
orang di sekitar kita, tidak merokok sambil berjalan, dan tidak membuang
puntung rokok sembarangan.
Telepon Seluler
Di dalam bus atau kereta, telepon
seluler diset agar tidak bordering (manner mode), dan sebisa mungkin janganlah
berbicara di telepon. Apabila duduk di tempat duduk khusus (untuk lansia),
matikanlah telepon karena sinyalnya dapat mengganggu peralatan medis yang
dipakai seseorang. Selain itu, naik sepeda atau berjalan sambil menelepon akan
mengurangi kehati-hatian sehingga merupakan pangkal kecelakaan.
Menggunakan transportasi umum
Sekarang ini sering penulis lihat
orang-orang naik kereta yang penuh dengan tas tetap di punggung atau dibahu. Di
dalam kendaraan, sebaiknya tas kita diturunkan, dan ditaruh di tubuh bagian
depan.
Mengucapkan salam
Ucapan salam sangat penting dalam
pergaulan sesama. Apabila kita mengucapkan salam dengan senyuman kepada
tetangga atau rekan sekerja, tentunya akan berkenan di hati mereka. Jadi
biasakan untuk memulai mengucapkan salam. Ini ada hubungannya dengan
pertumbuhan kita sebagai manusia. Mulailah dengan salam “Ohayou gozaimasu”
(selamat pagi), “Konnichiwa” ( selamat siang), ”Konbanwa” (selamat
malam).
Menepati janji
Menepati janji di tempat kerja
ataupun dalam kehidupan sehari-hari merupakan dasar dari pergaulan sesama
manusia. Apakah Anda pernah melanggar janji ? Bagaimana perasaan Anda waktu
itu? Walaupun mempunyai kemampuan tinggi sekalipun, tetapi orang yang tidak
bisa memegang janji akan kehilangan kepercayaan dari orang lain, dan tidak akan
dihiraukan lagi. Apabila ternyata tidak bisa menepati janji yang kita buat,
maka segeralah memberitahukan untuk membatalkan janji tersebut. Oleh karena
itu, janji harus dibuat dengan serius.
Menepati waktu
Waktu tidak bisa dilihat dengan
mata, sehingga kita tidak menyadari bahwa kita telah menyia-nyiakan waktu.
Misalnya : Anda terlambat 10 menit dari janji menemui teman, tetapi ada 6 orang
teman yang menunggu, sehingga keterlambatan Anda telah mengakibatkan 10 menit x
6 = 60 menit atau 1 jam telah tersia-sia. Dan apabila kita terlambat dari jam penerbangan
pesawat, maka pesawat juga akan terbang tanpa menunggu kita. Dalam rapat
pertemuan, mungkin saja anggota lainnya akan menunggu kita, tetapi kepercayaan
terhadap kita juga menjadi hilang. Gara-gara keterlambatan kita, telah
menyebabkan banyak anggota lainnya kehilangan waktu mereka yang berharga, jadi
perhatikanlah hal ini. Di Jepang sejak dulu ada peribahasa “Toki wa kane nari”
(waktu sama dengan uang), yang artinya waktu itu sangat berharga sehingga
jangan disia-siakan. Adalah kebiasaan bagi orang Jepang untuk tiba beberapa
saat sebelum waktu yang dijanjikan.
Memisahkan urusan umum dengan urusan
pribadi
yang Pemisahan urusan pribadi dan
umum ini bukan hanya tentang benda saja, melainkan juga harus memperhatikan
soal waktu yang harus dipisahkan antara pribadi dan umum. Misalnya, sewaktu
sedang kerja, kalau kita mengobrol di telepon untuk waktu lama, maka itu
berarti kita telah menggunakan waktu yang seharusnya dipergunakan untuk
kerja. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga, semuanya bisa dimulai
dengan pandangan hanya sekedar sebuah telepon tapi ini merupakan awal dari
melemahnya batasan umum dan pribadi.
Kebudayaan Jepang
Jepang merupakan Negara yang di
juluki Negara matahari dan Negara bungasakura, mengapa demikian? Karena di
Negara jepang mayoritas beragama Shinto yangmenyembah matahari sehingga disebut
Negara Matahari, sedangkan julukan Negara Bunga Sakura di berikan karena banyak
bunga sakura yang tumbuh si tanah jepang, bahkan untuk menyambut musim semi
sakura orang jepang mempunyai suatu tradisi, yaitu biasa disebut dengan
perayaan hanami (perayaan melihat mekarnya bunga) sebagai simbol kebahagiaan
karena datangnya musim semi, dimana di saat itu bunga sakura mekar dengan
cantiknya. Di setiap budayanya mempunyai arti tersendiri. Dari zaman jomon
sampai zaman hesei sekarang, orang jepang mampu melestarikan
kebudayaannya sendiri.
Jepang yang mempunyai kebudayaan
yang unik membuat Negara Bunga Sakura itu banyak di kenal masyarakat dunia salah
satunya Indonesia, kebudayaan jepang yang sampai saat ini masih dilakukan dalam
berbagai kesempatan misalkan perayaan hanami, dikarenakan masyarakat jepang
mencintai kebudayaannya sendiri dan ingin menjaganya. Orang jepang mau memakai
pakaian seberat dan setebal kimono untuk sekedar menghadiri upacara resepsi
pernikahan, sekarang kita tau bagaimana cintanya warga jepang pada
kebudayaannya sendiri. Adakalanya kita perlu mengetahui seperti apa kebudayaan
jepang itu, mungkin dengan mengetahui beberapa kebudayaan jepang kita bisa
sedikit meniru cara melestarikan kebudayaannya, mungkin bisa saja kebudayaan
kita tetap terjaga dan tetap dilakukan seperti kebudayaan jepang, berikut
beberapa contoh kebudayaan jepang:
Perayaan Hanami
Hanami (hana wo miru = melihat
bunga) atau ohanami adalah tradisi Jepang dalam menikmati keindahan
bunga, khususnya bunga sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan lambang
kebahagiaan telah tibanya musim semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik
dengan menggelar tikar untuk pesta makan-makan di bawah pohon sakura. Rombongan
demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah pepohonan
sakura untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan khas Jepang, dan
lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira. Ada kelompok keluarga, ada
kelompok perusahaan, organisasi, sekolah dan lain-lain.
Samurai
Samurai
Istilah samurai (侍 ), pada awalnya mengacu kepada
“seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784),
istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat
pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi (武士 ) yang berarti “orang yang
dipersenjatai atau kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi (続日本紀 ), pada bagian catatan
itutertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”.
Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad
ke-12 (zaman Kamakura)
Shogun (Sei-i Taishōgun)
Shogun (将軍Shōgun) adalah istilah bahasa Jepang
yang berarti jenderal. Dalam konteks sejarah Jepang, bila disebut pejabat
shogun maka yang dimaksudkan adalah Sei-i Taishōgun (征夷大将軍) yang berarti Panglima Tertinggi
Pasukan Ekspedisi melawan Orang Biadab (istilah "Taishōgun" berarti
panglima angkatan bersenjata). Sei-i Taishōgun merupakan salah satu
jabatan jenderal yang dibuat di luar sistem Taihō Ritsuryō. Jabatan Sei-i
Taishōgun dihapus sejak Restorasi Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa
Jepang, istilah shōgun yang berarti jenderal dalam kemiliteran tetap digunakan
hingga sekarang.
Baju Tradisional Jepang
Baju tradisional jepang adalah
kimono, kimono di bagi menjadi 2 macam yaitu kimono wanita dan kimono pria.
Kimono wanita ini masih di bagi menjadi beberapa macam diantaranya adalah:
- Kurotomesode: kimono paling formal dan biasanya di pakai wanita yang sudah menikah.
- Irotomesode: kimono yang di pakai oleh wanita dewasa yang sudah menikah atau belum menikah untuk menghadiri acara formal.
- Furisode: adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah.
- Homongi: adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah.
- Iromuji: adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon).
- Tsukesage: Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah.
- Komon: Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah.
- Tsumugi: adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah.
- Yukata: adalah kimono nonformal yang dipakai pria dan wanita pada kesempatan santai di musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta kembang api, matsuri (ennichi), atau menari pada perayaan obon.
Sedangkan kimono pria di bagi
menjadi 2 yaitu:
1.
Kimono
formal: yaitu berupa setelan montsuki hitan dengan hakama dan haori.
2.
Kimono
santai atau kinagashi: yaitu kimono yang di pakai sebagai pakaian sehari-hari
atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi.
Etika Budaya Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang: masyarakat yang
tidak peduli pada agama
Saya mulai dari ciri-ciri khusus
masyarakat Jepang dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Perbedaan yang
paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang
tidak peduli pada agama. Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak
boleh ikut campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara
untuk hal-hal agama.
Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua
lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara dan tidak boleh
melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan
kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa
uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama. )
Maka di Jepang tidak ada ruangan
untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), tidak
ada Departmen Agama, tidak ada sekolah agama negara (seperti IAIN di
Indonesia). Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab
tidak memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. (Pada
tahun 1996, mahasiswa yang mempercayai agama tertentu hanya 7.6%).
Orang Jepang tidak peduli orang lain
agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka
memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi
orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.
Di Jepang pernah orang Kristen
menjadi Perdana Menteri, namanya OHIRA Masayoshi, Masa jabatannya dari tahun
1978 sampai 1980. Memang jumlah orang Kristen cuma 1% dari penduduk Jepang,
tapi sama sekali tidak menjadi masalah dan sama sekali tidak mempengaruhi
kebijakannya. Hal itu tidak dikatakan karena toleransi pada agama, lebih tepat
disebut karena ketidakpedulian orang Jepang pada agama. (Tetapi beberapa sekte
tidak disukai banyak orang.)
Etika orang Jepang tidak berdasar
atas agama
Robert N Bellah, menerbitkan buku
berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957)
menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die Protestantische
Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai agama
pramodern itu dalam proses modernisasi. Tetapi menurut saya teori Bellah ini
sangat diragukan. Bellah mengatakan ajaran “Sekimon shingaku” (Ilmu moral oleh
ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk modernisasi ekonomi. Selain
itu, ada yang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu
sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja
keras, mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang
modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi
pemerintah Jepang adalah Shinto versi negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa
diterapkan kepada Jepang. Di Jepang tidak ada agama yang mendorong proses
kapitalisme.
Jepang dipenuhi dengan porno,
dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang suka sekali minum minuman keras.
Tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja keras, masyarakat
Jepang sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman
(setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antar agama) daripada Indonesia. Bagi
orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua hanya sarana hiburan saja untuk
menghilangkan stres. Kebanyakan orang Jepang tidak sampai adiksi/kecanduan.
Etika orang Jepang: etika demi
komunitas
Etika orang Jepang itu, tujuan
utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas
bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik,
kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dll, bentuknya apapun,
orang Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi
Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang
dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan.
Tindakan pribadi dinilai oleh
mendorong atau merusak rukun komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga
tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk mendorong rukun
komunitas.
Ajaran agama juga digunakan untuk
memperkuat etika komunitas ini. Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi,
Kristen dan Islam) mengutamakan Allah daripada komunitas, dan memisahkan
seorang sebagai diri sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa
melarang Kristen. Tentu saja agama Buddha juga mengutamakan Kebenaran Darma
daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti itu ditindas. Sementara
Konfusianisme sengat cocok dengan etika demi komunitas ini.
Tetapi, orang Jepang tidak
mengorbankan sendiri tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas terutama di
dalam etos kerja orang Jepang.
Etos kerja dan budaya kerja orang
Jepang
Sesudah
perang dunia kedua, perusahaan Jepang yang besar membentuk 3 sistem yaitu, (1)
Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus
hubungan kerja. (2) Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan
menaikan gaji pekerjanya tergantung umur mereka. (3) Serikat pekerja yang
diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja yang diorganisasi
menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis kerja apapun,
diorganisasi satu serikat pekerja. Oleh ketiga sistem ini, pekerja menganggap
kuat diri sendiri anggota perusahaannya dan merasa kesetiaan kepada
perusahaannya. Di atas ketiga sistem ini, etos kerja dan budaya kerja orang
Jepang berkembang. Kenyataannya, ketiga sistem ini dibentuk hanya di perusahaan
besar, tidak ada di perusahaan kecil. Tetapi ketiga sistem ini menjadi teladan
bagi perusahaan kecil juga.
Ciri-ciri etos kerja dan budaya
kerja orang Jepang adalah
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan
untuk gaji saja.
Tentu
saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah.
Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika
ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti
bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus
bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama
dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia
ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri.
Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena
permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini
disebut “work holic” oleh orang asing.
2. Mendewakan langganan
Memang
melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan client/langganan
sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.” (Langganan adalah Tuhan.) Kata
itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisinis Jepang. Perusahaan
Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan
berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
3. Bisnis adalah perang
Orang
Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan
dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku ajaran Sun Tzu (孫子) untuk belajar strategis bisnis.
Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum
masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisinis
sekarang. Untuk menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang.
Budaya bisinis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya
menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga
kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.”
(Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan
pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan
dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang, kedisiplinan
paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara
yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar.
Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak
terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja
di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin di sekolah
dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada ajaran agama apapun.
Introduksi “performance-paid system”
dan gagalnya
Sejak runtuhnya ekonomi Jepang pada
awal 1990-an, banyak perusahaan Jepang memPHK secara massal. Mereka
mengintroduksi sistem gaya Amerika, yakni performance-paid system pada tahun
1990-an untuk mengirit biaya tenaga kerja. Sistem ini gajinya dibayar menurut
hasil kerjanya. Tetapi sistem ini merusakkan team work di dalam perusahaan dan
menghilangkan kesetiaan pekerja pada perusahaannya. Rupanya bagi orang Jepang,
gajinya tidak menjadi motivasi kuat. Mungkin performance-paid system dicabut
lagi dan direkonstruksi sistem yang tradisional. Etos kerja dan budaya kerja
Jepang mungkin tidak begitu berubah.
Tetapi perusahaan Jepang memilih
menjadi lebih langsing dan ringan. Pekerja tetap menjadi terbatas, kebanyakan
pekerja adalah yang non tetap. Etos kerja pekerja non tetap ada kemungkinan
berubah drastis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar